Rabu, 05 Mei 2010

Perkawinan dalam Masyarakat Bugis Bone


Jenis-jenis Perkawinan dalam Masyarakat Bugis Bone

Apabila menelusuri proses pelaksanaan perkawinan dikalangan masyarakat Bugis Bone, maka dikenal beberapa jenis perkawinan, antara lain :
1.  Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan peminangan (Massuro)
Perkawinan jenis ini berlaku secara turun-temurun bagi masyarakat Bugis Bone yang bersifat umum, baik dari golongan bangsawan maupun masyarakat biasa. Perbedaannya hanya dari tata cara pelaksanaannya. Bagi golongan bangsawan melalui proses yang panjang dengan upacara adat tertentu, sedangkan masyarakat awam berdasarkan kemampuan yang dilaksanakan secara sederhana;
2. Perkawinan Silariang ( Kawin Lari)
Perkawian yang dilaksanakan tidak berdasarkan peminangan akan tetapi kedua belah pihak melakukan mufakat untuk lari rumah penghulu atau kepala kampung untuk mendapat perlindungan dan selanjutnya diurus untuk dinikahkan. Dalam masyarakat Bugis Bone, peristiwa Silariang (melarikan diri untuk dinikahkan) adalah perbuatan yang mengakibatkan “siri” bagi keluarga perempuan. Dahulu peristiwa semacam ini bagi pihak perempuan yang disebut “To Masiri” selalu berusaha untuk menegakkan harga diri atau “siri” dengan cara membunuh lelaki yang melarikan anak gadisnya (anaknya). Namun, sekarang ini menurut ketentuan adat, apabila keduanya telah berada di rumah anggota adat atau penghulu (pemerintah) maka ia tidak bisa diganggu lagi. Penghulu atau anggota adat harus berusaha dan berkewajiban mengurus dan menikahkannya. Untuk maksud tersebut di atas diadakanlah komunikasi kepada orang tua perempuan (To Masiri) untuk dimintai persetujuannya. Tetapi sering juga terjadi orang tua dan keluarga pihak perempuan tidak mau memberi persetujuannya, karena merasa dipermalukan (ripakasiri). Bahkan orang tua yang dipermalukan (ripakasiri) itu menganggap anaknya yang dilarikan itu telah meninggal dunia dan tidak lagi diakui sebagai anaknya (nassakarengngi ana’na). Apa bila hal ini terjadi maka jalan lain yang ditempuh adalah pihak adat atau penghulu menikahkannya dengan istilah Wali- Hakim. Akan tetapi walaupun keduanya telah dinikahkan, hubungan antara keluarga laki-laki dan perempuan tetap berbahaya. Oleh karena itu selama keduanya belum diterima kembali untuk rujuk yang disebut “Maddeceng) (meminta maaf), maka laki-laki yang membawa lari gadis tersebut harus tetap berhati-hati dan berupaya menghindar untuk bertemu orang tua dan keluarga dari pihak perempuan.
3. Perkawinan Menurut Usia
Telah diketahui, bahwa usia perkawinan diatur dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Hal ini dimaksudkan agar kedua calon mempelai tersebut memiliki kematangan dalam berumahtangga, agar dapat memenuhi tujuan luhur dari suatu perkawinan yaitu mendapat keturunan yang baik dan sehat. Dahulu, usia perkawinan tidak ada pembatasan sehingga sering terjadi anak di bawah umur dinikahkan (botting ana’-ana’). Tetapi mereka berdua masih tetap tinggal di rumah orang tua masingmasing. Dan nanti keduanya akil baliq (menanjak dewasa) barulah dipertemukan untuk hidup sebagai suami isteri. Hal seperti ini masih berlaku hingga akhir abad ke-19 4. Perkawinan yang Dilarang Sejak dahulu adat yang berlaku dalam

Masyarakat Bugis/Makassar melarang perkawinan antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang masih memiliki hubungan darah yang dekat, seperti :
1.  Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya (ibu/nenek), baik melalui ayah maupun ibu.
2. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurun dirinya (anak/cucu/cicit), termasuk keturunan anak wanita.
3. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita dari keturunan ayah atau ibu (saudara kandung / anak dari saudara kandung).
4. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita saudara dari yang menurunkan (saudara kandung ayah/saudara kandung ibu/saudara kakek atau nenek baik dari ayah maupun dari ibu) Dari hal tersebut di atas, berarti seorang pria dilarang kawin dengan seorang wanita dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah tanpa batas. Apabila hal ini terjadi, maka oleh masyarakat Bugis menganggapnya peristiwa “Malaweng” (perbuatan haram menurut Islam). Sesuai hukum adat yang berlaku dalam masyarakat Bugis Bone, maka keduanya ditenggelamkan di laut sebagai makanan ikan, karena merupakan pelanggaran hukum adat yang berat. (Sumber : Asmat Riady L. 2007. Dinamika Perkawinan Adat dalam Masyarakat Bugis Bone.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar