PEMERINTAHAN
ISLAM PERIODE PERTENGAHAN
KESULTANAN TURKI UTSMANI
Kerajaan
Turki Utsmani berdiri tahun 1281 di Asia Kecil. Pendirinya bernama Utsman bin
Erthogril. Wilayah kekuasaannya meliputi Asia Kecil dan daerah Trace, Selat Dardaneles,
Casablanca, dan Romawi. Nama kerajaan diambil dari nama pendirinya. Sistem
kenegaraan adalah prinsip kemiliteran. Kesatuan militer ini juga mempunyai
korps atau cabang-cabang Yeniseri. Salah satu di antara penguasa Turki
yang terkenal yaitu Sultan Muhammad II yang digelar al-Fatih (sang
Penakluk), beliau berhasil menaklukkan imperium terakhir Romawi yang berpusat
di Konstantinopel, dan menjadikan kota tersebut sebagai ibukota kesultanan
Turki. Konstantinopel oleh beliau dijadikan sebagai pusat peradaban dengan
berbagai pengembangan di berbagai bidang, sehingga Konstantinopel menjadi
pusat perdagangan di pelintasan benua
Asia dan benua Eropa.
Bentuk
kerajaan Turki utsmani didasarkan pada sistem feodal yang ditiru dari
kerajaan Bizantium. Dalam sistem pemerintahan, sultan adalah penguasa
tertinggi, baik dalam bidang agama, politik, pemerintahan bahkan
masalah-masalah perekonomian. Orang kedua yang berkuasa adalah Wazir Besar
sebagai ketua badan penasehat kesultanan yang membawahi seluruh wazir dan
amir, ia diangkat menjadi wakil sultan. Kehidupan keagamaan merupakan sistem
sosial, ulama dalam hal ini mempunyai kedudukan yang tinggi, disebut juga
Mufti yang berpengaruh pada aspek hukum kenegaraan. Sedangkan kebudayaan
Turki Utsmani merupakan perpaduan antara kebudayaan Arab, Persia dan
Bizantium.
Faktor-faktor
kemajuan adalah sistem pemberian hadiah berupa tanah, tidak ada diskriminasi
dalam kubu pemerintahan, kepengurusan organisasi yang cakap, sikap
persaudaraan, pemberdayaan tenaga-tenaga profesional dengan baik di bidang administrasi pemerintahan,
kedudukan sosial orang-orang Turki telah menarik minat penduduk Balkan
memeluk Islam, rakyat selain yang beragama islam dikenai pajak yang relatif
murah, Sikap toleransi dari pemerintahan terhadap kebebasan menjalankan
ajaran-ajaran agama bagi rakyatnya, dan tidak fanatik agama.
Faktor-faktor
kemunduran, yaitu; luasnya wilayah kekuasaan dan buruknya sistem pemerintahan
oleh orang-orang berikutnya yang tidak cakap, Heterogenitas penduduk dan
agama, kehidupan istimewa yang bermegahan dari penguasa, merosotnya
perekonomian negara akibat peperangan, timbulnya gerakan nasionalisme bagi
bangsa-bangsa di bawah kekuasaannya, terjadinya kemajuan teknologi di barat,
khususnya dalam bidang persenjataan, dan saat itu Turki mengalami stagnasi.
KERAJAAN SHAFAWI
Kerajaan Shafawi
berdiri di Persia pada 1501 M/907 H, Syah Ismail memproklamirkan diri sebagai
raja. Dalam perkembangan kerajaan ini ada lah adanya gerakan Shafawiyah, yang
mengalami dua fase; fase pertama; bernuansa sunni, dan fase kedua; berubah
menjadi syiah pada masa pimpinan Khawaja Ali anak Shadruddin. Pada masa
1447-1501 M, gerakan Shafawi berubah menjadi gerakan politik (struktural),
yakni beralihnya shafawi sebagai gerakan keagamaan ke gerakan politik. Perubahan ini berdasarkan dari dalam tarekat itu sendiri,
yaitu hubungan antara pemimpin tarekat dengan pengikut-pengikutnya; yaitu
anggota tarekat harus tunduk secara mutlak pada mursyid (khalifah)atau
pemimpin tarekat, sedangkan pemimpin tarekat dalam hal ini adalah khalifah
sebagai pemimpin kerajaan.
Apabila
pemimpin tarekat itu pemimpin (mursyid) meninggal dunia, digantikan oleh
anaknya. Pada 1501 M, pecah pertempuran antara Ak-Koyunlu dengan Shafawi, di
Sahrur dekat Nakhiwan kemenangan di pihak Shafawi, Ismail kemudian menjadi
raja pertamanya dan menjadikan syiah Itsna Asy’ariyah sebagai ideologi
negara. Kerajaan Shafawi mengalami kemajuan di bidang politik, kekuatan
angkatan bersenjata yang memadai. Di bidang ekonomi; dalam industri dan
perdagangan. Di bidang fisik tata kota, terjadi pembangunan secara
besar-besaran dalam kota. Di bidang filsafat dan sains; ada dua aliran
filsafat yang berkembang, yaitu aliran Ferifatetik,dan filsafat Isyraqi.
KESULTANAN
MUGHAL
Kesultanan
Mughal dimulai pada masa pemerintahan Babur, dipimpin oleh Zahruddin Babur.
Dalam pemerintahannya, Babur mampu meredam konflik yang terjadi dengan
bangkitnya raja-raja Hindu untuk memberontak ingin melepaskan diri dari
kekuasaan islam pada 1526 dan 1527 M. Pada pemerintahan Humayun, kondisi
negara tidak stabil bahkan mengalami kehancuran. Pada pemerintahan Akbar
dikenal mempunyai gagasan-gagasan yang radikal dan liberal. Adanya perombakan
sistem dari masa pemerintahan Humayun, seperti; penghapusan jizyah bagi non muslim, memebrikan pelayanan dan
pendidikan yang sama, dan lain-lain.
Pada
pemerintahan Jahangir, kondisi negara stabil, penerapan ajaran Islam hanya
terbatas pada pengadilan saja. Jahangir adalah sultan yang toleran, dan
sekuler, kebijakan-kebijakan politiknya liberal. Pada pemerintahan Syah Jehan
mengalami puncak keemasan, penaklukan wilayah samapai melampaui batas-batas
India, dan sukses menata politik kenegaraannya. Pada pemerintahan Aurangzeb,
motif pengambil alihan kekuasaan didasarkan pada kepentingan penyelamatan
nilai-nilai syariah Islam, penerapan syariah Islam semakin diperketat..
Pemerintahan Pasca Aurangzeb dijalankan oleh generasi-generasi yang lemah,
sultan-sultan Mughal tidak mampu mengendalikan wilayah kekuasaan yang cukup
luas dan kekuatan lokal Hindu yang cukup dinamis.
KESULTANAN
DI ASIA TENGGARA
Brunei
Darussalam. Kesultanan Brunei
merupakan negara persemakmuran Inggris sejak 1888 M, namun hierarki tradisionalnya masih
tetap bertahan, bahasa Melayu tetap menjadi media komunikasi dan pengajaran
keagamaan, situasi politik di Brunei sangat tenang dengan kaum muslim yang
mayoritas, menjadikan Islam sebagai agama resmi kenegaraan. Negara ini
menyatakan kemerdekaannya pada 1984. Negara ini adalah negara Islam yang beraliran Ahlus Sunnah wal jamaah.
Malaysia. Pada abad X daerah kekuasaan kerajaan Malaka telah
menerima Islam, dan menjadi agama resmi negara federasi Malaysia.
Undang-undang malaka dikompilasi
dengan jelas berisi hukum Islam. Penduduk muslim berjumlah tidak lebih dari
55 persen dari seluruh jumlah penduduk. Peranan Islam dalam politik lebih
kentara di negara ini.
Thailand.
Islam datang ke Thailand pada masa
pemerintahan kerajaan Sukhotai di abad XIII M, perdagangan merupakan faktor
yang menyebabkan Islam masuk ke kerajaan Ayurthaya. Pada abad XX M,
pemerintahan Thailand berusaha mengonsolidasi kekuasaan atas
provinsi-provinsi Selatan yang didiami oleh kaum muslim itu. Orang-orang
muslim diharuskan memakai pakaian bukan melayu dan mengadopsi nama-nama Thai
bila mereka ingin memasuki sekolah-sekolah pemerintah atau mencari pekerjaan
dalam dinas pemerintahan. Islam adalah agama kedua yang cukup penting di
Thailand.
Filipina. Hubungan antara kaum muslim selatan atau Moro dan penguasa
spanyol merupakan sejarah konfrontasi abadi. Gejala di Filipina pasca
kolonialisme adalah kristenisasi dan Filipinanisasi yang menyebabkan
kegelisahan terpendam di kalangan kaum muslim dan masa depan mereka yang
hidup dalam bangsa Filipina. kaum muslim mampu terlibat dalam perkembangan
perekonomian di Filipina.
Kamboja. Nasib kaum muslim di negara ini sangat tragis ketika rezim
Pol Pot berkuasa, orang-orang Islam diusir dari kota besar dan sarana-sarana
peribadatan dan rumah-rumah penduduk dihancurkan, membantai kaum intelektual,
dan Khmer merah merusak seluruh infrastruktur Kampuchea. Umat Islam di sana
mulai menata kembali kehidupan mereka, yang dilindungi oleh milieu Buddha
yang secara tradisional bersikap toleran.
(tulisan
dari berbagai buku-buku Sej. Islam)
|
Rabu, 26 Mei 2010
Sej. Peradaban Islam
Senin, 24 Mei 2010
Sejarah Peradaban Islam
MASYARAKAT
ARAB SEBELUM ISLAM
A. Asal Usul Bangsa Arab
Bangsa Arab berasal dari rumpun Semit, Semenanjung Arab
menjadi tempat menetap orang-orang yang kemudian berimigrasi ke wilayah Bulan
Sabit Subur, atau wilayah Timur Tengah yang membentang dari Israel hingga
teluk Persia termasuk di dalamnya
sungai Tigris dan Efrat di Irak sekarang, yang dikenal dalam sejarah sebagai
bangsa Babilonia, Assyria, Phoenisia dan Ibrani. Sebagai tempat munculnya
tradisi Semit sejati, wilayah gurun pasir Arab merupakan tempat lahirnya
tradisi Yahudi dan kemudian Kristen, yang secara bersama-sama membentuk
karakteristik rumpun Semit yang telah dikenal dengan baik.
Istilah “Semit” lebih memiliki implikasi bahasa ketimbang
etnis, dan bahasa Assyria-Babilonia, Aramaik, Ibrani, Phoenisia, Arab
Selatan, Etiopia, dan Arab harus dipandang sebagai dialek-dialek yang
berkembang dari jenis induk dari bahasa utama, yaitu Ursemitis. Hal serupa mungkin dapat dijumpai pada bahasa-bahasa
Romawi dalam hubungannya dengan bahsa Latin, dengan pengecualian bahwa
beberapa bentuk bahasa Latin masih bertahan, setidaknya dalam kesusasteraan,
hinggahari ini, sementara bahasa asli Semit, bahasa percakapannya sehari-hari
kini telah punah, meskipun karakteristiknya secara umum bisa dilihat dari
berbagai aspekyang terdapat dalam bahasa-bahasa turunannya yang masih
bertahan.
Mengakui Semenanjung Arab-Nejed atau Yaman sebagai tempat
asal dan pusat penyebaranbangsa Semit tidak menafikan kemungkinan bahwa
mereka, sebelumnya,pada masa-masa paling awal, berbaur dengan anggota
ras kulit putih, bangsa Hamit, sebuah komunitas yang tinggal di suatu tempat di
Afrika bagian timur; dari komunitas inilah orang-orang yang disebut sebagai
bangsa Semit itu menyeberang menuju Semenanjung Arab. Kemungkinan Afrika
sebagai tempat asal bangsa Semit-hamit, serta Semenanjung Arab sebagai t
empat kelahiran bangsa Semit dan pusat penyebarannya. Wilayah Bulan Sabit
Subur menjadi panggung utama peradaban bangsa Semit.
B. Pemerintahan
Sistem pemerintahan bangsa Arab adalah kerajaan.
Peradaban Timur Tengah merembes ke Arabia, sebagaimana yang terjadi di mana
saja, di mana kerajaan besar yang mempertahankan wilayah perbatasan dengan
masyarakat yang secara politik dan kultural kurang terorganisir. Pengaruh ini
dan kebutuhan untuk memobilisasi kekuasaan dan sumber-sumber yang ada
memerlukan kepentingan untuk menjaga otonomi politis, atau untuk menjalankan
perdagangan dengan kerajaan, merangsang proses stratifikasi, spesialisasi
yang sama, dan merangsang pembentukan komunitas dan identitas pada masyarakat
yang kuran berkembang , yang dengannya kerajaan semakin menjadi kokoh. Mereka
menumbuhkan kondisi tersebutdi wilayah perbatasan yang memungkinkan untuk
penggabungan kerajaan dan sejumlah wilayah luar ke dalam sebuah masyarakat
tunggal.
C. Ekonomi
Bangsa Arab yang hidup di beberapa wilayah yang subur
menjalin pola kebersamaan politik, kesamaan
keyakinan, hubungan ekonomi, dan perdamaian dengan masyarakat
sekitarnya. Lebih lanjut Arabia dihubungkan
dengan beberapa wilayah lainnya oleh sejumlah propagandis keliling
yang menyebarkan ajaran monotheis di
kalangan pagan jazirah ini, oleh sejumlah pedagang yang membawa tekstil,
perhiasan, dan bahan-bahan makanan seperti tepung dan minuman anggur ke dalam
Arabia, dan menumbuhkan selera kebutuhan akan barang-barang mewah, dan oleh
agen-agen penguasa kerajaan, yang secara diplomatik dan politik, turut
mencampuri hak-hak perdagangan mereka.
D. Budaya
dan Agama
Bangsa Arab bukan hanya membangun kerajaan tapi juga
kebudayaan. Sebagai pewari peradaban kuno yang berkembang pesat di tepi
sungai Tigris dan Efrat, di daratan sekitar sungai Nil dan di pantai sebelah
timur Mediterania, mereka juga
menyerap dan memadukan beragam
unsur kebudayaan Yunani-Romawi berperan sebagai pembawa gerakan intelektual
ke Eropah. Abad pertengahan yang
memicu kebangkitan dunia Barat dan melapangkan jalan bagi proses
modernisasidi dunia Barat. Tidak asa satu pun bangsa pada Abad Pertengahan yang memberikan
kontribusi terhadap kemajuan manusia sebesar kontribusi yang diberikan oleh
orang Arab dan orang-orang yang berbahasa Arab.
Agama yang dianut orang Arab, setelah agam Yahudi dan
Kristen, merupakan agama terbesar ketiga dan agama monoteis terakhir. Secara
historis Islam merupakan penerus kedua agama
sebelumnya, dan dari semua agama lain di dunia. Islam memiliki hubungan
yang dekat dengan kedua agama itu. Ketiga agama besar di dunia itu merupakan
hasil dari satu kehidupan spiritual
yang sama, yaitu spiritual Semit. Dengan beberapa pengecualian, seorang
muslim yang taat mengakui sebagian besar ajaran kristen. Islam telah, dan
masih menjadi kekuatan yang hidup mulai dari Maroko hingga Indonesia, dan
menjadi pilihan jalan hidup jutaan umat manusia.
E. Sistem
Sosial
Mereka sebagian hidup berpindah-pindah dalam ikatan
kelompok dan kekerabatan, keluarga patriarkal yang terdiri seorang ayah, anak
laki-lakinya dan keluarga mereka. Keluarga-keluarga ini selanjutnya
berkelompok menjadi sebuah klan yang terdiri dari ratusan rumah tenda, yang
mana secara bersama mereka berpindah, memiliki padang rumput, dan bertempur
sebagai satu kesatuan di medan peperangan. Secara bersama mereka berpindah,
memiliki padang rumput, dan bertempur sebagai satu kesatuan di medan
peperangan. Secara fundamental, masing-masing klan merupakan sebuah satu
kesatuan yang mandiri. Seluruh kesetiaan terserap oleh kelompok yang
bertindak sebagai sebuah kolektivitas untuk mempertahankan individu warganya
dan untuk menghadapi tanggung jawab bersama. Jika seorang warga teraniaya,
maka klan menuntut balas atas penganiayaan tersebut, jika seseorang melakukan
penganiayaan, amak hal itu menjadi tanggung jawab klan, ini ada pada sistem
masyarakat Badui.
|
Minggu, 23 Mei 2010
Makalah Sejarah Pemikiran Islam
ALIRAN AL-ASY'ARIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, umumnya
dikenal adanya dua corak pemikiran kalam, yakni pemikiran kalam yang bercorak
rasional serta pemikiran kalam yang bercorak tradisional. Pemikiran kalam yang bercorak rasional adalah
pemikiran kalam yang memberikan kebebasan berbuat dan berkehendak kepada
manusia, daya yang kuat kepada akal, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang
terbatas, tidak terikat pada makna harfiah, dan banyak memakai arti majazi dalam memberikan
interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an. Pemikiran ini akan melahirkan paham
rasional tentang ajaran Islam serta menumbuhkan sikap hidup yang dinamis
dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Mu’tazilah[1]
dan Maturidiyyah Samarkand.[2]
Sebaliknya, pemikiran kalam yang bercorak
tradisional adalah pemikiran kalam yang tidak memberikan kebebasan
berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya yang kecil bagi akal, kekuasaan
kehendak Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya, serta terikat pada makna
harfiah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an. Pemikiran kalam
ini akan melahirkan paham tradisional tentang ajaran Islam serta akan
menumbuhsuburkan sikap hidup fatalistik dalam diri manusia. Paham ini terdapat
dalam aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyyah Bukhara.[3]
Kalau kaum Mu’tazilah banyak percaya pada kekuatan
akal manusia, kaum Asy’ariah banyak bergantung pada wahyu. Sikap yang dipakai
kaum Mu’tazilah ialah mempergunakan akal dan kemudian memberikan interpretasi
pada teks atau nas wahyu sesuai dengan pendapat akal. Kaum Asy’ariah
sebaliknya, terlebih dahulu kepada teks wahyu dan kemudian membawa
argumen-argumen rasional untuk teks wahyu itu. Kalau kaum Mu’tazilah banyak
memakai ta’wil atau interpretasi dalam memahami teks wahyu, kaum
Asy’ariah banyak berpegang pada arti lafzi atau letterlek dari teks
wahyu. Dengan kata lain Mu’tazilah
membaca yang tersurat dalam teks, kaum Asy’ariah membaca yang tersurat.[4]
Asy’ariah merupakan aliran yang hidup hingga
sekarang, berumur hampir sepuluh abad. Aliran ini tumbuh pada tahun-tahun
pertama abad ke-4 H, hingga sekarang masih ada, walaupun harus menghadapi
tekanan kira-kira 1 ½ abad. Satu saat bertarung melawan kaum rasionalis, yang
diwakili khususnya oleh Mu’tazilah, tetapi kadang juga melawan naqliyyin (tekstualis)
yang diwakili oleh Salaf [5]
ekstrim dari kalangan Hanabilah dan Karamiah. Baru kemudian ajaran-ajaran
aliran ini bisa mendominasi dan menjadi mazhab resmi Negara di dunia Sunni
yang dalam rangka itu ia ditopang oleh kondisi social-politik.[6]
Pada akhir abad ke-3 H muncul dua tokoh yang
menonjol, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari di Bashrah dan Abu Manshur
al-Maturidi di Samarkand.
Mereka bersatu dalam melakukan bantahan
terhadap Mu’tazilah, meskipun sedikit banyak mereka mempunyai
perbedaan.[7]
Al-Asy’ari dilahirkan di Bashrah pada tahun 260 H
dan wafat pada tahun ± 330 H. Ia mempelajari ilmu kalam dari seorang tokoh
Mu’tazilah Abu ‘Ali al-Jubba’I. Karena kemahirannya, ia selalu mewakili
gurunya dalam berdiskusi. Meskipun begitu, pada perkembangan selanjutnya ia
menjauhkan diri dari pemikiran Mu’tazilah. Selanjutnya ia condong kepada
pemikiran para fuqaha dan ahli hadis, padahal ia sama sekali tidak pernah
mengikuti majelis mereka dan tidak pernah mempelajari ‘aqidah berdasarkan
metode mereka.[8]
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan
bahwa dalam perkembangan pemikiran Islam ada dua aliran yang mempunyai corak
pemikiran yang kontradiktif. Aliran Muktazilah mempunyai pemikiran bercorak
rasional atau pemikiran yang bertumpu pada logika, sedangkan aliran al-Asy’ariah mempunyai pemikiran bercorak
tradisional, dan aliran ini muncul sebagai sanggahan atas pemikiran
Mu’tazilah. Abu al-Hasan al-Asy’ari
sebagai penggagas dan pendiri aliran al-Asy’ari ini pada mulanya adalah
pengikut setia ajaran Mu’tazilah, namun karena disebabkan beberapa hal yang
bertentangan dengan hati nurani, pemikirannya dan kondisi social masyarakat (ia
merasa perlu meninggalkan ajaran itu) di zaman itu yang menyebabkan ia
berpaling meninggalkan ajaran Mu’tazilah, dan bahkan memunculkan aliran
teologi baru sebagai reaksi perlawanan terhadap ajaran Mu’tazilah, ini akan
dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di
atas, maka dalam pembahasan makalah ini, penulis merumuskan beberapa
permasalahan, yaitu :
1.
Sejarah timbulnya aliran Al-Asy’ariah
2.
Abu Hasan al-Asy’ari (Biografi dan Karya-karyanya).
3.
Pokok-pokok ajarannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Timbulnya Aliran Al-Asy’ariah.
Ada beberapa kemungkinan alasan yang menyebabkan al-Asy’ari
meninggalkan Mu’tazilah sekaligus merupakan penyebab timbulnya aliran al-Asy’ariah,
berikut ini dipaparkan :
Al-Asy’ari
sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya
meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sebab yang bisaa disebut, yang berasal dari
al-Subki dan Ibn Asakir, ialah bahwa pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi;
dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli
Hadislah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah.[9]
Cerita yang paling umum disebut sebagai penyebab
keluarnya al-Asy’ari
dari Mu’tazilah ialah kisah perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’iy,
tentang tempat untuk anak kecil di akhirat. Menurut al-Jubba’iy, tempat anak
kecil di akhirat bukanlah di bagian tertinggi surga, karena anak kecil belum
punya amal saleh sebagai tanda ketaatan yang patut diberi pahala. al-Asy’ari
bertanya, bagaimana kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: “Itu bukan
kesalahanku; sekiranya Engkau memanjangkan umurku tentu aku beramal baik
seperti yang dilakukan oleh orang mukmin dewasa”. Jawab al-Jubba’iy; Tuhan
akan berkata: “Aku tahu bahwa jika terus hidup niscaya engkau akan berbuat
dosa dan pasti masuk neraka, maka demi kepentinganmu sendiri , Aku cabut
nyawamu sebelum engkau menjadi orang dewasa mukallaf”. al-Asy’ari bertanya
selanjutnya, sekiranya yang kafir mengatakan: Engkau mengetahui masa depanku,
sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil, maka apa sebabnya Engkau
(membiarkan aku hidup) tidak menjaga kepentinganku?”. Di sinilah al-Jubba’iy terpaksa diam.[10]
Menurut suatu riwayat, ketika ia mencapai usia 40
tahun, ia mengangkat diri dari orang banyak di rumahnya selama 15 hari, di
mana ia kemudian ia pergi ke masjid besar Basrah untuk menyatakan di depan
orang banyak, bahwa ia mula-mula memeluk paham aliran Mu’tazilah, antara
lain. Al-Qur’an itu makhluk, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala,
manusia sendiri yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan keburukan. Kemudian
ia mengatakan sebagai berikut : “Saya tidak lagi mengikuti paham-paham
tersebut dan saya harus menunjukkan keburukan-keburukan dan
kelemahan-kelemahannya”.[11]
Pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun[12]
serangan Mu’tazilah terhadap para fuqaha dan muhaddtisin semakin
gencar. Tak seorang pun para fiqh yang populer dan pakar hadis yang
masyhur luput dari gempuran mereka. Serangan dalam bentuk pemikiran, disertai
dengan penyiksaan fisik oleh penguasa dalam bentuk suasana al-Mihnah
(inkuisisi). Akibatnya timbul kebencian masyarakat terhadap Mu’tazilah, dan
berkembang menjadi permusuhan. Masyarakat tidak senang dengan hasutan-hasutan
mereka untuk melakukan inkuisisi (mihnah) terhadap setiap imam dan
ahli hadis yang bertakwa.[13]
Politik kekerasan
yang ditempuh oleh Mu’tazilah dalam menyampaikan ajarannya itu berkurang
setelah al-Ma’mun meninggal tahun 833 M, bahkan akhirnya paham Mu’tazilah
sebagai mazhab resmi Negara dibatalkan oleh Khalifah Al-Mutawakkil pada tahun
856 M. Sejak itu, kaum Mu’tazilah kembali pada posisinya semula, menjadi
lemah, bahkan menghadapi lawan-lawan yang tiada sedikit dari Islam. Tentu
saja lawan yang paling keras dihadapinya ialah golongan Hanbaliy, pengikut
dari imam yang pernah menjadi korban mihnah di zaman al-Ma’mun. Perlawanan dari golongan ini
akhirnya mengambil bentuk aliran teologi baru yang bertumpu secara tekstual
pada sunnah (tradisi) yang bersumber dari Nabi dan sahabat-sahabatnya. Aliran
ini kemudian dikenal dengan aliran tradisional dengan sebutan Ahl al-Sunnah,[14]
atau Asy’ariyah.[15]
Sekarang timbul persoalan, apa sesungguhya yang
menyebabkan al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah? Rasanya tidaklah mungkin al-Asy’ari
yang pernah menganut Mu’tazilah puluhan tahun dan menjadi juru debatnya,
tiba-tiba meninggalkan aliran itu hanya karena tidak puasnya menerima jawaban
al-Jubba’iy. Patut kiranya dipertimbangkan jika dalam hal ini Harun Nasution
menunjukkan adanya kemungkinan baru, bahwa al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah
karena ia melihat bahwa aliran ini tidak dapat diterima oleh umumnya umat
Islam yang masih sederhana cara berpikirnya. Apalagi ketika itu Mu’tazilah
telah berada kembali pada posisi lemah, sebaliknya Ibn Hanbal dan para
pengikutnya dari kalangan muhaddisin semakin
kuat di bawah lindungan penguasa baru Abbasiyah. Khalifah al-Mutawakkil.
Dengan kata lain, mungkin saja al-Asy’ari melihat betapa bahayanya jika umat
Islam dibiarkan hidup
tanpa pegangan teologi formal sebagai pengganti teologi Mu’tazilah yang telah
ditinggalkan itu.[16]
Kemungkinan lain juga mungkin disebabkan seperti
pendapat berikut bahwa :
Sebagai seorang muslim yang gairah akan keutuhan
umat muslimin, ia sangat mengkhawatirkan, kalau al-Qur’an dan hadis-hadis
Nabi menjadi korban faham-faham aliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya
tidak dapat dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan akal pikiran,
sebagaimana dikhawatirkan juga menjadi korban sikap ahli hadis anthropomorphist (al-hasywiah-the
gross anthropomorphist of some of the
traditionalist) yang hanya memegangi lahir (bunyi) nas-nas agama dengan
meninggalkan jiwanya yang hamper menyeret Islam ke lembah kebekuan yang tidak
dapat dibenarkan.[17]
Secara faktual hal ini juga disebabkan adanya
inkuisisi pada masa pemerintahan al-Ma’mun yang memicu kebencian sebagian
besar umat Islam kala itu terhadap orang-orang Mu’tazilah.
Adanya al-mihnah yang
dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap kelompok lain yang tak sepaham
dengannya, ternyata menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi
perkembangan aliran Mu’tazilah selanjutnya. Mereka mendapat tantangan keras
dari umat Islam lain. Setelah adanya peristiwa ini kaum Mu’tazilah tidak lagi
mempunyai peranan politik yang berarti, dan menyebabkan timbulnya aliran
oposisi yang kuat dan siap sedia untuk menciptakan alasan guna memojokkan
kaum Mu’tazilah. Perlawanan tersebut kemudian mengambil bentuk aliran teologi
baru yang bercorak tradisional yang dimajukan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari
(W.935 M).
[18]
Dia menghabiskan waktunya untuk berdebat melawan teori-teori Mu’tazilah,
mempertahankan keyakinan barunya, dan menggunakan senjata yang sama dengan
Mu’tazilah_yaitu pembuktian melalui akal, yang sangat tidak disukai oleh
mazhab Hanbali. Pada hakikatnya al-Asy’ari mengambil jalan tengah di antara
dua titik ekstrem yang sangat mengandalkan akal, seperti para pengikut Ibn
Hanbal.[19]
Meskipun demikian al-Asy’ari
tetap mengaku sebagai pengikut Hanbali. Dalam tulisannya, dia berkata,
“Ucapan kami yang terucapkan dan agama yang kami anut berpegang teguh pada
Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, riwayat sahabat, tabi’in, dan para imam
hadis. Kami sangat memegang teguh hal-hal tersebut, serta apa yang
disampaikan oleh Ibn Hanbal (semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat
derajatnya, meninggikan kedudukannya). Orang-orang yang menentang pendapatnya
menjauh, karena itu adalah imam yang memiliki kelebihan, sempurna, dan diberi
kebenaran oleh Allah swt, ketika muncul kesesatan.”[20]
Berdasarkan uraian di
atas, penulis mempunyai pemikiran bahwa latar belakang timbulnya aliran al-Asy’ariah
dipengaruhi beberapa faktor, antara lain yang paling krusial kekhawatiran Abu
al-Hasan al-Asy’ari bahwa al-Quran dan Hadis Nabi akan diabaikan oleh umat
Islam. Kemudian dalam pengembaraan dan
pengalaman spiritualnya tidak menutup kemungkinan telah menemukan kebenaran
yang hakiki yang terpancar dalam hatinya, ketika hal itu telah ditemukan yang
menurut dia itulah suatu kebenaran yang harus dimunculkan kepada umat Islam
kala itu.
B. Abu al-Hasan al-Asy’ari (Biografi
dan Karya-Karyanya).
Dalam Shorter Encyclopaedia of Islam karya H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers disebutkan bahwa
“Al-Asy’ari, Abu al-Hasan, famous theologian, born at Basra in the year 260 H
/ 873 M. The complete genealogy is : Ali b. Ismail b. Ishak b. Salim b.
Ismail b. Abd. Allah b. Musa b. Bilal b. Abi Burda.[21]
Abu Hasan al-Asy’ari nama lengkapnya adalah “Ali bin Ismail bin Basyr Ishak
bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal Abi Bardah bin Abdullah
bin Abi Musa al-Asy’ari.[22]
Adapun masa hidupnya, al-Asy’ari terlahir pada tahun 260 H (873 M) dan wafat pada tahun 524
H (935 M). Berarti dia hidup di dunia selama 64 tahun Qomariyah/Hijriyah atau selama 62 tahun Syamsiyah/Masehi.[23]
Kehidupan al-Asy’ari kesil tidak seberuntung masa kanak-kanak pada
umumnya. Karena sejak kecil dia telah ditinggalkan oleh ayah kandungnya,
Ismail. Dan ibunya kemudian dipersunting oleh Abu Ali al-Juba’i, seorang tokoh kenamaan
Mu’tazilah. Maka dalam pelukan ayah tiri inilah al-Asy’ari dididik dan
dibesarkan.[24]
Seorang ahli hukum Islam (fiqih) terkenal, pemuka teolog Islam dan
pendiri aliran Asy’ariyah. Ia mempunyai hubungan nasab dengan sahabat Nabi
s.a.w, yaitu Abu Musa al-Asy’ari r.a yang banyak meriwayatkan hadis beliau. [25]
Pada bidang teologi beliau banyak berguru pada Ali al-Jubbai; demikian juga
beliau belajar fiqhi Syafi’i kepada seorang faqih yaitu Abu Ishak al-Maruzi
seorang tokoh Muktazilah di Basrah.[26]
Adapun karya-karyanya, di antaranya beberapa judul yang sampai kepada kita ialah :
1. Al-Ibanah ‘an
Ushul al-Diyanah (Dalam kitab ini memaparkan berbagai hal pokok
keagamaan yang didasarkan pada pemikiran kalamnya dan kemudian menjadi acuan
bagi kaum Sunni).
2. Al-Luma’ (Kitab ini lebih menyoroti argumen-argumen lawan atau aliran kalam
yang dianggapnya tidak benar, dan memberikan dalil-dalil naql (al-Qur’an dan al-Sunnah) serta argumen akal yang relevan.
3.
Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin. (Pokok-pokok kitab ini menguraikan tentang bermacam-macam golongan
Islam beserta pendapat masing-masing dan lebih merupakan kajian comparative (perbandingan). Sehingga
terlihat jelas mana kelompok Alussunnah Waljamaah berada).[27]
C. Pokok-Pokok
Ajaran al-Asy’ariah.
Formulasi pemikiran al-Asy’ariah, secara essensial menampilkan sebuah
upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Muktazilah
di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat
ortodoks. Aktualisasi formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis
terhadap Muktazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.[28]
1). Zat
dan Sifat Tuhan.
Menurut al-Asy’ari, Zat Tuhan tidak bisa disamakan dengan zat (esensi)
makhluk. Maka apabila dalam al-Qur’an disebutkan kata-kata wajh (muka), yad (tangan), dan ‘ain
(mata) yang dinisbatkan kepada Tuhan, seperti yang tersebut dalam ayat-ayat
yang berbunyi :
- QS. al-Rahman ayat 27 :
“Dan tetap
kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”.
- QS. al-Fath ayat 10 :
¨bÎ) šúïÏ%©!$# y7tRqãè΃$t6ム$yJ¯RÎ) !$# Ïm‹Ï?÷sã‹|¡sù #·�ô_r&$VJ‹Ïàtã ÇÊÉÈ
“Bahwasanya
orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji
setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka
barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu
akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah
Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
- QS. at-Thuur ayat 48 :
“Dan
Bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, Maka Sesungguhnya kamu berada
dalam penglihatan kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu
bangun berdiri.”
tidak bisa disamakan dengan wajah, tangan, dan
penglihatan manusia atau dengan apa yang ada pada makhluk-Nya. Hal itu bila kaifa (tidak bisa ditanyakan
bagaimananya).[29]
Nama-nama Allah tidak dapat disebut
bukan Allah, dan Allah swt yang mempunyai Ilmu, Mendengar dan Melihat
merupakan sifat yang ditetapkan kepada-Nya, dan tidak dapat dinafikan
dari-Nya.[30]
Jadi menurut al-Asy’ari, Allah tidak
memiliki tangan, wajah, singgasana dalam bentuk materil_seperti kata
Ahlussunnah_meskipun hal ini berbeda dengan yang ada pada makhluk. Namun
menurutnya seorang muslim wajib mengimani bahwa Allah memiliki tangan, wajah
dan singgasana tanpa usah bertanya-tanya bagaimana adanya sifat-sifat ini
bagi Allah.[31]
2). Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan
Manusia.
Menurut
al-Asy’ari, Kekuasaan Tuhan (predestination)
adalah mutlak. Dia Mutlak Berkehendak dan Berbuat. Maka tidak ada sesuatu pun
yang terjadi pada manusia dengan kekuatannya sendiri, melainkan dengan
Kehendak-Nya dan Kekuasaan Mutlak-Nya. Dengan demikian, maka perbuatan
manusia tidaklah diciptakan oleh manusia itu sendiri, melainkan diciptakan
oleh Tuhan. Sedangkan bersamaan dengan wujud perbuatan itu, manusia memiliki
andil yang disebut Kasb (usaha).[32]
Perbuatan manusia menurut al-Asy’ari
disebut al-Kasb dan tidak ada fi’il bagi kasb kecuali Allah.
Demikian juga tidak ada khaliq
kecuali Allah. Tidak ada orang yang mampu menciptakan secara hakiki kecuali
Allah. Perbuatan mesti fa’il secara
hakiki. Karenanya, Kasbi mestilah dari muktasib
yang memberi kasb secara hakiki. Perbuatan baik seperti iman, dan perbuatan
jahat seperti kufur, sebenarnya Allah yang menciptakannya.[33]
Tampaknya al-Asy’ari ingin
mengkompromikan antara paham Qadariah dan Jabariah tentang perbuatan manusia,
usaha mengkompromikan ini dikenal dengan konsep “al-kasb”.
Berdasarkan teori ini mereka
memandang bahwa perbuatan manusia baik yang dilakukannya secara terpaksa atau
atas ikhtiarnya adalah ciptaan Allah, qudrat manusia tidak bisa memberikan
pengaruh pada perbuatannya, tetapi ia memiliki apa yang disebut Kasb
yang selalu mengiringi qudrat yang terjadi pada manusia untuk perbuatan tanpa
ada pengaruh pada qudrat itu.[34]
3). Kalam Tuhan.
Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang
Kalam Tuhan ini dibedakannya menjadi
dua, yakni adanya Kalam Nafsi dan
kalam Lafzi Kalam Nafsi adalah kalam dalam artian
abstrak, ada pada Zat (Diri) Tuhan. Ia bersifat qadim dan azali serta tidak
berubah oleh adanya perubahan ruang, waktu dan tempat. Maka al-Qur’an sebagai
kalam Tuhan dalam artian ini bukanlah makhluk. Sedangkan kalam Lafzii adalah kalam dalam artian
sebenarnya (hakiki). Ia dapat ditulis, dibaca atau disuarakan oleh
makhluk-Nya, yakni berupa al-Qur’an yang dapat dibaca sehari-hari. Maka kalam
dalam artian ini bersifat hadis (baru) dan termasuk makhluk.[35]
4).
Tentang Ru’yah kepada Tuhan.
Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang ru’yah kepada Tuhan (melihat Tuhan di
Akhirat) adalah hal yang mungkin terjadi karena Tuhan berfirman dalam QS.
al-Qiyamah ayat 22-23 :
“Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (23) Kepada Tuhannyalah
mereka Melihat(24).”
Argumen logika yang dikemukakan ialah bahwa Tuhan
itu ada, maka melihat-Nya pada hari kiamat dengan mata kepala adalah hal yang
mungkin. Karena sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata kepala, itu tidak
bias diakui adanya, sama seperti sesuatu yang tidak ada. Padahal Tuhan pasti
ada.[36]
Pada hari kiamat, Allah dapat dilihat seperti
melihat bulan purnama. Dia dapat dilihat oleh orang yang beriman, dan bukan
oleh orang kafir. Sebab mereka dihalangi untuk melihat-Nya. Musa pernah
meminta agar diperkenankan melihat Allah di dunia, kemudian gunung pun
bergetar sebagai penjelmaan kekuasaan-Nya. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa Dia tidak dapat dilihat di dunia, sebaliknya di akhirat dapat.[37]
5).
Tentang Pelaku Dosa Besar.
Tentang pelaku dosa besar, pemikiran al-Asy’ari
terlihat jelas penolakannya terhadap pemikiran kalam Mu’tazilah yang
menyatakan bahwa seorang mukmin yang berdosa besar dan mati sebelum bertobat nasuha ia kekal di neraka. Menurut al-Asy’ari,
pendapat Mu’tazilah yang demikian itu jelas-jelas bertentangan dengan
al-Sunnah serta hak pengampunan Tuhan. Dalam keterangan beberapa al-Sunnah,
dinyatakan bahwa kalaupun berdosa besar, selama di hatinya masih ada iman,
seseorang tidak kekal di neraka. Dan dalam keterangan beberapa ayat
al-Qur’an, ditegaskan bahwa hanya orang-orang yang musyrik dan kafirlah kekal
di neraka.[38]
Imam Asy’ari tidak mengkafirkan seorang muslim atau
dosa yang telah diperbuatnya, seperti zina, mencuri, dan minum khamer, karena
orang yang melakukan dosa besar tersebut pasti meyakini dan percaya bahwa
sebenarnya perbuatan yang dilakukannya merupakan perb uatan haram.[39]
Sementara itu Tuhan adalah berkuasa
dan Berkehendak Mutlak. Sehingga menjadi hak mutlak-Nya pula untuk mengampuni
atau tidaknya dosa para hamba-Nya yang beriman. Sehubungan dengan ini, maka
yang pasti, menurut al-Asy’ari, pelaku dosa besar yang beriman tidaklah kekal
di neraka. Yang kekal di neraka haruslah orang musyrik dan kafir. Dan
berkaitan dengan pengampunan Tuhan, maka terserah Dia, apakah dosa besarnya
itu diampuni langsung masuk surga, ataukah disiksa terlebih dahulu di neraka,
kemudian diampuni dan dimasukkan ke surga; hal ini mutlakl urusan Tuhan.[40]
Menyangkut masalah Kekuasaan Tuhan
Beliau berpendapat bahwa tidak ada sesuatupun
yang bias menghalangi kekuasaan Tuhan dan menolak keberadaan dari
semua penyebab. Kalau siang mengikuti malam, maka itu hanya karena Tuhan
dengan kasih-Nya memudahkan pengulangannya. Dalam hal ini tidak ada
kekekalan. Tuhan menciptakan dunia baru setiap saat. Meskipun beliau menerima
takdir yang telah ditentukan sebelumnya, namun beliau juga memakai konsep
“perolehan” (kasb), yang akan membuat manusia bertanggung jawab atas
perbuatannya.[41]
Berdasarkan
uraian di atas, penulis memberikan kesimpulan bahwa Abu al-Hasan al-Asy’ari
mempunyai pokok-pokok ajaran yang menekankan kepada konsep pemikiran tentang
Zat (esensi) Allah swt yang merupakan sifat-sifat yang melekat pada zat Allah.
Al-Asy’ari mengakui eksistensi sifat-sifat Allah seperti yang termaktub dalam
al-Qur’an (Asmaul Husna),
namun dalam pemikirannya, sifat-sifat tersebut tidak bias disamakan dengan
sifat-sifat yang ada pada makhluknya karena Allah berbeda dengan makhluk, tak
sesuatupun yang menyerupai-Nya.
Tentang Perbuatan Tuhan dan kebebasan manusia
berbuat dikenal dengan teori kasb. Al-Asy’ari
juga meyakini bahwa kalam Allah itu terdiri dari dua; kalam Nafzi dan kalam
Lafzi. Kalam Nafzi itu ada pada diri Allah yang bersifat qadim dan azali, dan
ini bukan makhluk. Sedangkan kalam Lafzi adalah susunan huruf, bunyi yang
disuarakan ketika kita membaca al-Qur’an, itulah yang bersifat baru
dikategorikan makhluk.
Menurut al-Asy’ari, orang-orang beriman itu dapat
melihat Allah di akhirat, tapi di dunia mustahil, seperti cerita tentang Nabi
Musa yang digambarkan tadi di atas. Tentang pelaku dosa besar, al-Asy’ari
berpendapat bahwa; orang mukmin melakukan dosa besar selama di hatinya masih ada iman
akan mendapat pengampunan dari Allah.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah ini, penulis
menarik suatu kesimpulan, bahwa secara
histories timbulnya aliran al-Asy’ariah disebabkan oleh karena kuatnya
keinginan untuk kembali pada pemahaman yang semula yaitu pemikiran
Ahlussunnah Waljamaah, tapi juga dalam pemikirannya al-Asy’ari masih
menggunakan metode yang digunakan oleh kaum Mu’tazilah, yaitu menggunakan
kemampuan akal menganalisis nas-nas al-Qur’an.
Kaum Mu’tazilah selalu mengedepankan akal pikiran
untuk memahami wahyu, berangkat dari akal kemudia wahyu. Tapi al-Asy’ari
sebaliknya mengedepankan wahyu disbanding akal, menggunakan akal seperlunya
saja. Sehingga tidak heran al-Asy’ari dalam pemikirannya selalu
mengkompromikan pemahaman Ahlussunnah Waljammah dengan kaum rasionalis
tersebut. Hal tersebut dapat dilihat pada setiap pokok-pokok pemikirannya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, Pengantar Theology
Islam. Cet.VII; Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 2001.
Abbas. Nukman, Al-Asy’ari (874-935 M) Misteri Perbuatan Manusia dan
Takdir Tuhan. Jakarta: Erlangga, t.th.
Abdul Azis, Ahmad, Ensiklopedia Islam, Alih Bahasa : Drs. Bahrul Ulum,
M.Pd. Cet.I; Jakarta: PT. Prestasi Pustakarya, 2006.
Abu Zahrah. Imam Aliran Politik dan ‘Aqidah Dalam Islam Imam Muhammad
Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Judul Asli : Tarikh
al-Mazahib al-Islamiyyah diterjemahkan oleh : Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad
Qarib. Cet.I; Jakarta: Logos, 1996.
Ahmad Amin. Husayn, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam Judul Asli :
Al-Mi’ah al-A’zham fi Tarikh al-Islam. Cet.IV; Bandung,: PT. Remaja Rosdakarya,
1999.
Al-Asy’ari. Al-Imam
Abul Hasan, Risalah lla Ahli Ats-Tsaghri, diterjemahkan oleh Muhammad
Dawam Sukardi-Humavie, dengan judul: “Serat-serat Aqidah Ahlu as-Sunnah
wal Jamaah”, Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2001.
Al-Asy’ari, al-Ibanah an Ushul ad-Diyanah. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, tt.
Al-Usairy. Ahmad, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX ,
Penerjemah : Samson Rahman. Cet.I; Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003.
Amin. Ahmad, Dhuha
Islam. Kairo: Dar al-Misriyah, 1946.
Amin. Ahmad, Zuhr Islam, Jilid IV.
Beirut: Dar al-Fikr, 1969.
Farid Isma’il. Fu’ad dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu
Filsafat, Diterjemahkan dari buku : “Mabadi’ al-Falsafah wa al-Akhlaq”.
Penerjemah oleh Didin Faqihuddin, S.Ag. dkk. Cet.II; Yogyakarta: IRGSoD,
2005.
Gibb.
H.A.R. and J.H. Kramers, Shorter Encyclopaudia of Islam, London: Luzac
and Co, 1961.
Haq. Hamka, Dialog: Pemikiran Islam.
Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2000.
Iskandar Al-Barsany. Noer, Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam
Ahlussunnah Waljamaah. Ed.I, Cet.I; Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2001.
Madkour. Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Penerjemah; Drs. Yudian Wahyudi Asmin. Bumi
Aksara, t.th.
Maghfur W. Muhammad, Koreksi Atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan
Filsafat Islam. Cet.I; Bangil: Al-Izzah, 2002.
Muchofir. Ali, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi.
Cet.I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
Nasution. Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II.
Cet.I; Jakarta: UI-Press, 2002.
_____________, Islam Rasional
Gagasan dan Pemikiran. Cet.IV; Bandung: Mizan, 1996.
_____________, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan. Cet.V; Jakarta: UI-Press, 1986.
Nata. Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf Dirasah Islamiyah IV.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, t.th..
Shihab, M. Quraisy, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?
Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran. Cet.II; Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Tholhah Hasan. Muhammad, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan
Tradisi NU. Cet.III; Jakarta: Lantabora Press, 2005.
Yatim,. Badri, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2006.
Yusuf. M. Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar Sebuah Telaah
Atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam. Cet.II; Jakarta: Penamadani, 2003.
Khalid ibn
Abd. Latif ibn Muhammad Nur, Manhaj Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah wa Manhaj
al-Asya’irah. Cet. I; Madinah: Maktabah al-Ghurabah al-Atsariyah, 1995.
|
[1] Di kalangan kaum orientalis, yang banyak menulis tentang peradaban
Islam di zaman klasik, kaum Mu’tazilah diberi nama kaum rasionalis Islam. Lihat! Harun Nasution.
Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Cet.IV; Bandung: Mizan, 1996),
h.129.
[2] M. Yunan Yusuf. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar Sebuah
Telaah Atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam (Cet.II; Jakarta:
Penamadani, 2003), h.7.
[3] M. Yunan Yusuf.Op Cit, h.7-8.
[4] Harun, Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II (Cet.I;
Jakarta: UI-Press, 2002), h.36.
[5] Kelompok dari
orang-orang Hanabilah yang muncul pada abad ke-4 H dengan mengkaitkan dirinya
dengan pendapat-pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, yang dipandang oleh mereka
telah menghidupkan dan mempertahankan pendirian ulama salaf. Karena pendapat
ulama salaf ini menjadi motif berdirinya, maka orang-orang Hanabikah menamakan
dirinya aliran salaf. Istilah “salaf” berarti “dahulu”. Dengan demikian, salaf
berarti system akidah pada masa-masa dahulu (sejak masa Rasulullah), sampai
masa-masa sahabat dan tabi’in. Lihat! Ali Muchofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Cet.I;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), h.219.
[6] Ibrahim Madkour. Aliran dan Teori Filsafat Islam, Penerjemah; Drs. Yudian Wahyudi Asmin, (Bumi Aksara, t.th), h.176.
[7] Imam Abu Zahrah. Aliran
Politik dan ‘Aqidah Dalam Islam Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik
dan Aqidah dalam Islam, Judul Asli : Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah
diterjemahkan oleh : Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib (Cet.I; Jakarta: Logos,
1996), th.
[9] Harun Nasution. Teologi
Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet.V; Jakarta: UI-Press,
1986), h.66.
[12] Dia bernama Abdullah
al-Makmun bin harun ar-Rsyid. Harun ar-Rasyid telah membaiat kedua anaknya yang
bernama al-Amien baru kemudian al-Makmun. Namun al-Amien memecat saudaranya
dari posisinya. Setelah melalui pertarungan berdarah dan melalui tipu daya
menteri yang bernama al-Fadhil bin Sahl, al-Makmun berhasil menaklukkannya dan
berhasil memegang puncak khilafah pada tahun 198 H/812 M. Lihat! Ahmad al-Usairy. Sejarah Islam Sejak Zaman
Nabi Adam Hingga Abad XX , Penerjemah : Samson Rahman (Cet.I; Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana, 2003), h.231-232. Lihat juga Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 53. Di situ mengatakan
bahwa; Al-Ma’mun adalah Khalifah Bani Abbasiyah ke-VII yang dikenal sebagai
pencinta ilmu pengetahuan pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku
asing digalakkan, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah Bait
al-Hikmah.
[13] Nukman Abbas. Al-Asy’ari
(874-935 M) Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, (Jakarta: Erlangga,
t.th), h.104.
[14] Ahl as-Sunnah berarti orang-orang yang secara konsisten
mengikuti tradisi Nabi Muhammad saw, dalam hal ini adalah Nabi dalam tuntunan
lisan maupun amalan beliau serta sahabat mulia beliau. Lihat! M. Quraisy
Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran
dan Pemikiran (Cet.II; Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 57.
[16] Ibid, h.13.
[18] Abuddin Nata, Ilmu
Kalam, Filsafat, dan Tasawuf Dirasah Islamiyah IV (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, t.th.), h.25.
[19] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam Judul Asli
: Al-Mi’ah al-A’zham fi Tarikh al-Islam (Cet.IV; Bandung,: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999), h.125.
[21] H.A.R. Gibb and J.H.
Kramers, Shorter Encyclopaudia of Islam, (London: Luzac and Co, 1961),
h. 66.
[22] Al-Imam Abul Hasan
Al-Asy’ari, Risalah lla Ahli Ats-Tsaghri, diterjemahkan oleh Muhammad
Dawam Sukardi-Humavie, dengan judul: “Serat-serat Aqidah Ahlu as-Sunnah wal
Jamaah”, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), h. 48.
[23] Noer Iskandar al-Barsany, Biografi
dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlussunnah Waljamaah (Ed.I, Cet.I;
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 3.
[24] Ibid, h. 3.
[25] Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah
wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Cet.III; Jakarta: Lantabora
Press, 2005), h. 14.
[26] Ahmad Amin, Zuhr Islam, Jilid IV (Beirut: Dar al-Fikr,
1969), h. 65.
[27] Noer Iskandar al-Barsany, Op
Cit, h.10.
[29] Ibid, h. 18-19.
[30] Muhammad Maghfur W, Koreksi
Atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam (Cet.I; Bangil: Al-Izzah,
2002), h.44.
[31] Fu’ad Farid Isma’il dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, Diterjemahkan dari buku : “Mabadi’ al-Falsafah wa al-Akhlaq”.
Penerjemah oleh Didin Faqihuddin, S.Ag. dkk. (Cet.II; Yogyakarta: IRGSoD,
2005), h. 144.
[32] Noer Iskandar al-Barsany, Op
Cit, h.21.
[34] Khalid ibn Abd. Latif ibn Muhammad Nur, Manhaj Ahl as-Sunnah wa
al-Jamaah wa Manhaj al-Asya’irah (Cet. I; Madinah: Maktabah al-Ghurabah
al-Atsariyah, 1995), h. 345-347.
[35] Noer Iskandar al-Barsany, Op
Cit, h.22.
[36] Ibid, h. 22-23.
[37] Muhammad Maghfur W, Loc Cit.
[38] Noer Iskandar al-Barsany, Op
Cit, h.24.
[40] Ibid, h. 24.
[41] Ahmad Abdul Azis,
Ensiklopedia Islam, Alih Bahasa : Drs. Bahrul Ulum, M.Pd., (Cet.I; Jakarta:
PT. Prestasi Pustakarya, 2006). h. 211-212.
Langganan:
Postingan (Atom)